Jalanan mulai mengecil ketika mobil kami keluar dari jalan utama Mandalika. Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di antara pohon kelapa dan hamparan sawah. Saya duduk di kursi tengah, jendela terbuka separuh. Udara pagi terasa bersih, segar, dan perlahan menghadirkan sensasi “ada sesuatu yang berbeda” menunggu di depan.
Tujuan kami hari itu adalah Desa Sade, sebuah kampung adat Sasak yang katanya jadi ikon budaya Lombok. Tapi lebih dari sekadar tempat wisata, banyak yang menyebutnya sebagai destinasi ekowisata budaya yang bikin reflektif. Saya penasaran—apa benar seunik itu?
Desa Adat Sade: Bukan Sekadar Wisata, Tapi Cerita Hidup
Begitu kaki menginjak tanah berdebu di depan gapura Desa Sade, saya langsung merasa seperti melangkah ke masa lalu. Rumah-rumah beratap ilalang berdiri rapat di kiri-kanan lorong, dengan susunan yang tampak acak, tapi ternyata penuh filosofi. Anak-anak kecil bermain bola di tanah lapang, sementara ibu-ibu duduk di bale bambu, tangan mereka sibuk menenun kain berwarna cerah.
Seorang pemandu lokal—bang Dedi, begitu ia memperkenalkan diri—mengajak kami berjalan pelan menyusuri kampung. Suaranya tenang, sesekali melempar candaan ringan, tapi penuh informasi yang membuat saya mulai sadar: ekowisata di Desa Sade bukan tentang “melihat-lihat”, tapi tentang menyerap dan memahami.
Rumah Tradisional Sasak: Simbol Sederhana yang Sarat Makna
Saya sempat masuk ke salah satu rumah adat Sasak. Ruangannya minim cahaya, hanya diterangi sinar matahari dari celah dinding bambu. Lantainya… tanah! Tapi bukan sembarang tanah, karena katanya dulu dipel dengan campuran kotoran kerbau agar tahan lama dan bebas serangga. Meski sekarang sudah jarang dilakukan, tradisi itu tetap jadi cerita yang diwariskan.
Dari bang Dedi, saya belajar bahwa arsitektur tradisional Sasak bukan hanya soal estetika, tapi juga keseimbangan antara alam dan kehidupan manusia. Bahan-bahannya ramah lingkungan, mudah diperbarui, dan dibuat oleh tangan-tangan warga sendiri—bukan pabrikan.
Saat berbicara soal wisata budaya Desa Sade, tak bisa dilepaskan dari rumah-rumah ini. Mereka adalah jantung dari kehidupan kampung, tempat segala aktivitas bermula dan berakhir.
Menenun: Warna, Waktu, dan Warisan
Tepat di depan rumah itu, duduk seorang ibu separuh baya dengan alat tenun tradisional. Tangannya bergerak cepat, memasukkan benang demi benang dengan ritme yang nyaris meditatif. Saya terpukau. Ternyata, satu lembar kain bisa dikerjakan dalam 2–3 minggu, tergantung kerumitan motifnya.
“Di sini, anak perempuan harus bisa menenun sebelum menikah,” ujar ibu itu sambil tersenyum. “Karena kami percaya, menenun bukan cuma bikin kain, tapi belajar sabar dan tanggung jawab.”
Dari sini, saya menyadari bahwa wisata edukatif di Lombok seperti ini membawa kita lebih dekat ke nilai-nilai masyarakat. Bukan cuma melihat hasilnya, tapi menyaksikan dan ikut merasakan prosesnya.
Interaksi Langsung: Bagian Terbaik dari Ekowisata
Saat kami istirahat di bale-bale dekat pintu masuk kampung, datang sekelompok anak-anak dengan senyum lebar menawarkan gelang dan gantungan kunci dari manik-manik kayu. Saya beli satu, bukan karena ingin oleh-oleh, tapi karena obrolan kami jadi panjang.
Mereka cerita soal sekolah, tentang turis yang datang dari berbagai negara, dan tentang cita-cita mereka kelak. Saya terenyuh. Ekowisata Lombok yang ideal memang bukan sekadar “lihat-lihat”, tapi membangun jembatan antarmanusia—meski hanya sebentar.
Menyatu dengan Lingkungan: Harmoni yang Nyata
Desa Sade tidak mengenal kendaraan bermotor di dalam kampung. Semua jalan kaki. Air diambil dari sumber mata air sekitar. Sampah? Hampir tak ada. Kain tenun diproduksi tanpa limbah berbahaya. Ini bukan kampanye go green, tapi gaya hidup yang sudah berjalan turun-temurun.
Saya jadi berpikir, bagaimana kalau semua paket tour Lombok bisa menyisipkan satu hari untuk merasakan hidup seperti ini? Tak harus ekstrem, tapi cukup untuk membuka mata bahwa harmoni dengan alam itu mungkin—dan menyenangkan.
Rangkaian Perjalanan yang Bisa Kamu Coba
Banyak wisatawan yang mengira Desa Sade cocoknya dikunjungi sebentar, lalu lanjut ke pantai. Tapi menurut saya, jika disusun dengan rapi, kamu bisa menjadikannya bagian dari perjalanan satu hari penuh yang bermakna. Misalnya:
Pagi: Tiba di Desa Sade, eksplor rumah adat, ikut sesi menenun singkat, dan ngobrol dengan warga.
Siang: Makan siang di sekitar Mandalika.
Sore: Melanjutkan ke Pantai Tanjung Aan atau Bukit Merese untuk sunset.
Malam: Kembali ke penginapan dengan hati hangat.
Rute seperti ini biasanya sudah tersedia dalam berbagai paket trip Lombok yang disediakan oleh penyedia lokal terpercaya.
Kenapa Pilih Wisata Lombok Plus?
Nah, selama di perjalanan, saya sempat ngobrol dengan sopir yang ternyata juga pemandu dari Wisata Lombok Plus. Menurut saya, keunggulan mereka adalah cara mengemas pengalaman. Nggak buru-buru, tapi juga nggak membosankan. Rutenya fleksibel, dan mereka paham cara menghadirkan pengalaman autentik tanpa membuat kita merasa “dijual”.
Yang saya suka, mereka juga sangat menghargai komunitas lokal. Tidak sembarangan membawa tamu, selalu memberi ruang untuk warga tetap nyaman. Ini penting banget dalam konsep ekowisata.
Kalau kamu ingin menyusun liburan ke Lombok yang lebih bermakna, tenang, menyenangkan tapi tetap berdampak, saya sangat merekomendasikan menyisipkan Desa Sade di dalamnya—terutama jika kamu ambil rute dari penyedia seperti Wisata Lombok Plus yang sudah pengalaman di lapangan.